Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Oleh LPSK
Dalam undang-undang nomor 13 Tahun 2006 pasal 8 ayat (1) tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam proses peradilan pidana dan dapat diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai. Salah satu tindak pidana prioritas yang ditangani oleh LPSK merupakan Tindak Pidana Perdagangan Orang, seperti yang disampaikan oleh Ibu Dr. Livia Istania DF Iskandar, MSc., Psikolog, selaku Wakil ketua LPSK dalam webinar yang diadakan oleh Parinama Astha pada hari Jumaat 30 Juli 2021.
Tindak Pidana Perdagangan Orang yang diprioritaskan oleh LPSK tahun 2020-2021 mendapatkan 203 permohonan pada tahun 2020, 12 Permohonan pada tahun 2021, total keseluruhannya yaitu 215 permohonan, sedangkan jumlah terlindung TPPO pada tahun 2020 yaitu 314 orang, pada tahun 2021 ada 175 orang. Adapun terlindung TPPO pada mei 2021 yang meliputi 171 orang tersebar dari beberapa wilayah terdiri dari, 1 orang dari Aceh, 4 orang dari Sumatera Utara, 3 orang dari kepulauan Riau, 1 orang dari Bengkulu, 2 Orang dari sumatera selatan, 25 orang dari Lampung, 6 orang dari Banten, 59 orang dari Jawa Barat, 4 orang dari DKI Jakarta, 26 orang dari Jawa Tengah, 8 orang dari Jawa Timur, 6 orang dari NTB, 9 orang dari Kalimantan Barat, 3 orang dari Kalimantan Timur, 2 orang dari Sulawesi Utara, 5 orang dari Sulawesi Selatan, 1 orang Sulawesi Tenggara, 2 orang dari Maluku Utara, 3 orang dari Maluku, dan 1 orang dari Papua Barat.
Seperti yang disampaikan oleh Ibu Dr. Livia dalam materinya, LPSK mempunyai beberapa kasus yang ditangani melalui proses hukum, yaitu kasus TPPO ABK Longxing 629, Kasus Gang Royal dan TPPO Lu Huang Yuan 117 dan 118. Dalam kasus TPPO ABK Longxing 629 pelakunya adalah PT Lakemba, PT Sinar Muara Gemilang, PT Alfira dengan jumlah terlindung 17 orang. Selama di kapal Longxing 629 para terlindung mengalami eksploitasi yaitu berupa jam kerja 18-24 jam perhari, bahkan hingga 30 jam tanpa istrahat, dengan waktu tidur maximal 6 jam perhari serta tidak dapat beribadah. Para ABK asal Indonesia tidak diberikan fasilitas kamar mandi seperti ABK RRT. Para terlindung diberi makan berupa ikan busuk yang sangat lama di freezer yang biasa digunakan sebagai umpan dan makanan berupa daging ayam yang sudah lama tersimpan di freezer. Para terlindung juga diberkan air minum yang berasal dari sulingan air laut yang membuat para terlindung semakin merasa kehausan. Perlakuan ini berbeda dengan ABK RRT yang mendapatkan makanan yang layak dan minum air mineral.
Kasus TPPO di Kapal Longxing 629 ini telah diadili di tiga pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri Tegal yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ki Agus Muhammad Firdaus karena melakukan tindak pidana turut serta melakukan perbuatan menempatkan pekerja migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dan ditandatangani oleh pekerja migran Indonesia dan diancam pidana dalam pasal 85 huruf a undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia Jo Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan dendan sebesar Rp. 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah). Sedangkan di Pengadilan Negeri Pemalang Terdakwa Muhamad Zakaria Alias Zakaria Bin Slamet dijatuhi hukuman pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan pengganti selama 4 (empat) bulan serta terdakwa Muhamad Zakaria membayar restitusi kepada para korban. Dan yang terakhir di Pengadilan Negeri Brebes yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa William Gozaly alias wily karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama membawa warga Negara Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pidana Penjara selama 3 (tiga) tahun 4 (empat) bulan, dan denda sejumlah Rp.120.000.000 (Seratus dua puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Sedangkan kasus TPPO Gang Royal telah diputus dengan putusan Nomor : 976/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utara dengan terdakwa 1 an. Sulkifli bin Supu dan terdakwa 2 an. Suherman bin Suyar, yang terbukti bersalah melakukan perekrutan anak dibawah umur untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah Republik Indonesia dan menjatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.120.000.000 subsider 3 bulan serta membayar restitusi kepada Anak Korban Siti Sopiah sejumlah Rp.80.000.000, subsider 3 bulan kurungan. Kasus yang terakhir yaitu TPPO Lu Huang Yuan 117 dan 118 para terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana penempatan pekerja migran Indonesia dan menjatuhi hukuman pidana penjara terhadap masing-masing selama 1 tahun 4 bulan dan denda Rp.100.000.000, subside 1 bulan serta membayar restitusi terhadap korban syamsul sebesar Rp.148.500.500, kepada Ansor Azimi sebesar Rp.159.900.500, kepada Didi Nuriza sebesar Rp.140.529.616, kepada Budi Yono sebesar Rp. 140.780.500, kepada Novantino Arvian Devanda Pane sebesar Rp.138.980.500, kepada Muhamad Sokheh sebesar Rp.131.943.000, kepada suswandi sebesar Rp.106.168.750 dan durahim sebesar Rp.109.323.750 dengan ketentuan apabila restitusi tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
Ada berbagai macam cara perekrutan yang dilakukan oleh pelaku yaitu melalui media online seperti facebook, twiter, instagram, mendatangi langsung calon korban, melalui berita yang disebar dari mulut ke mulut, melalui kenalan atau kerabat korban, perusahaan penyalur, pemilik tempat usaha. Sedangkan tidak sedikit tantangan dan permasalahan dalam menangani korban TPPO yaitu seperti; bantuan medis kepada korban TPPO terbatas 2 tahun, bantuan psikologis yang diberikan kepada korban terbatas waktunya, belum adanya mmekanisme antara K/L dan pemda untuk memantau perkembangan kondisi psikis korban, serta terbatasnya jumlah psikolog dikota kecil atau daerah terpencil (gugus tugas TPPO), belum adanya mekanisme yang akurat dan praktis untuk mengintegrasikan data antara LPSK, aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya, dalam perkembangan proses hukum seringkali terjadi perubahan penggunaan pasal TPPO menjadi TP penempatan pekerja migran Indonesia diluar negeri.
Berdasarkan kenyataan itu program perlindungan LPSK lebih fokus kepada perlindungan fisik (rumah aman, pengamana melekat, pengawasan, identitas baru, fasilitas kediaman). Selain itu adanya pemenuhan hak prosedural (pendampingan, pemberian keterangan tanpa tekanan, penerjemah, bebas pertanyaan menjerat, dan nasihat hukum), Perlindungan hukum (saksi, korban, saksi pelaku, dan/pelapor tidak dapat dituntut secara hukum atas kesaksian yang diberikan dan penanganan khusus bagi saksi pelaku), adanya fasilitas ganti rugi seperti kompensasi dan restitusi dan masih banyak lagi program perlindungann LPSK terhadap saksi atau korban.
Komentar
Posting Komentar